Dalam waktu dekat ini kami akan memperkenalkan pakaian adat pengantin ampik salayang kepada masyarakat luas khususnya Kabupaten Berau (Kalimantan Timur). Karena pakaian ampik salayang memulai kisahnya saat masih zaman Kerajaan Sambaliung tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Alimuddin alias RAJA ALAM yang merupakan Sultan pertama dari Tanjung lalu kemudian bernama Kerajaan Sambaliung. Baju pengantin "AMPIK SALAYANG" mengawali kisahnya saat pertama kalinya Sultan Alimuddin menikahkan anaknya dengan memakaikan baju adat pengantin ampik salayang tersebut. Adapun pakaian adat pengantin ampik salayang ini mempunyai makna yang sangat historis disetiap detailnya karena memiliki mengandung makna yang sangat dalam. Itulah sebabnya mengapa hanya kalangan kerabat keraton Sambaliung saja yang boleh mengenakan saat melangsungkan acara pernikahan. Namun setelah pakaian adat pengantin tersebut saat ini sudah dipatenkan/dibakukan melalui ujian oleh HARPI JAKARTA, tiba-tiba muncul nama HALIDA AYOEB dari Gunung Tabur mengklaim via KALTIM POST dan Melayuonline bahwa ampik salayang masuk dalam pakaian adat warisan Kerajaan Gunung Tabur. Ini satu sikap yang curang dan licik namanya, walaupun ampik salayang masih milik Indonesia namun namanya warisan leluhur dimana dia berasal tetaplah menjadi milik yang punya sejarah asal mula lahirnya pakaian tersebut yaitu di Kerajaan Sambaliung.
My Sambaliung My Home
Rabu, 30 Oktober 2013
Jumat, 22 Oktober 2010
Raja Alam Calon Pahlawan Nasional Dari Kabupaten Berau Kalimantan Timur
Sebelum diusulkan menjadi Pahlawan Nasional "Raja Alam" sudah lebih dahulu menerima Bintang Jasa Utama lewat SK Presiden nomor 77/TK/Tgl.13 Agustus 1999.
SEJARAH PERJUANGAN RAJA ALAM ( SULTAN ALIMUDDIN ) 1810-1834 & 1837-1843 (1259 H)
"Selama 24 tahun Sultan Alimuddin Raja Alam membina pemerintahannya yang berpusat di Tanjung berhadapan dengan Belanda yang kuat, adalah merupakan prestasi yang perlu mendapat perhatian. Dalam waktu itu beliau dapat mengumpulkan kekuatan yang cukup mengkhawatirkan Belanda, sehingga dalam menghadapinya, Belanda perlu membuat perhitungan yang matang sekali sebelum melaksanakannya. Tidak banyak Raja-Raja yang dapat bertahan demikian lama berhadapan dengan Belanda, apalagi peperangan diperairan laut, dapat dikatakan langka".
Menurut data dari J.Hageman Jaz Aanteekeningen Omstrent Een Gedeelto der Ooskust van Borneo halaman 85 dan 102, angkatan laut Belanda yang dipimpin Kapten Laut Anamaet, memerlukan sepuluh hari lamanya untuk mengalahkan armada perang Raja Alam yang terdiri 100 perahu perang Solok yang dipimpin Syarif Dakula menantu Raja Alam dan pelaut-pelaut Bugis yang dipimpin mertuanya Pangeran Petta diperairan laut antara Tanjung Mangkalihat dan Tanjung Kerantigau dengan meriamnya yang berkaliber besar, armada Belanda yang terdiri dari 5 kapal perang besar memuntahkan pelurunya ke kubu-kubu pertahanan Raja Alam di Dumaring dan Batu Putih. Setelah perang dilautan, untuk menuntaskan perang kolonialnya, tentara Belanda terpaksa menghadapi perang di darat.
Menurut data dari J.Hageman Jaz Aanteekeningen Omstrent Een Gedeelto der Ooskust van Borneo halaman 85 dan 102, angkatan laut Belanda yang dipimpin Kapten Laut Anamaet, memerlukan sepuluh hari lamanya untuk mengalahkan armada perang Raja Alam yang terdiri 100 perahu perang Solok yang dipimpin Syarif Dakula menantu Raja Alam dan pelaut-pelaut Bugis yang dipimpin mertuanya Pangeran Petta diperairan laut antara Tanjung Mangkalihat dan Tanjung Kerantigau dengan meriamnya yang berkaliber besar, armada Belanda yang terdiri dari 5 kapal perang besar memuntahkan pelurunya ke kubu-kubu pertahanan Raja Alam di Dumaring dan Batu Putih. Setelah perang dilautan, untuk menuntaskan perang kolonialnya, tentara Belanda terpaksa menghadapi perang di darat.
Ketika Raja Berau yang ke-9 Aji Dilayas meninggal dunia pada tahun 1600 kedua putranya yang berlainan ibu yaitu Pangeran Tua dan Pangeran Dipati keduanya ingin menjadi Raja. Keputusan musyawarah pembesar kerajaan kedua pangeran itu bergiliran menjadi raja, mula-mula Pangeran Tua setelah itu Pangeran Dipati. Ketentuan ini diteruskan oleh kedua turunannya dengan aman selama 200 tahun.
Pada Tahun 1810 terjadi persengketaan dalam menentukan giliran siapa yang harus menjadi Raja Berau. Masalahnya Aji Kuning II ingin menjadi Raja menggantikan kakaknya Sultan Zainal Abidin II yang selalu sakit-sakitan. Raja Alam turunan dari Pangeran Tua menganggap bahwa keinginan Aji Kuning II tidak adil karena pihak turunan Pangeran Dipati telah 5 kali menjadi Raja, sedangkan keturunan Pangeran Tua baru 4 kali. Karena kedua-duanya tetap mempertahankan kemauannya, di beberapa tempat terjadilah insiden berdarah. Akhirnya kedua keluarga besar itu mengadakan musyawarah dengan terpaksa menetapkan Kerajaan Berau dibagi 2. Aji Kuning II memerintah sebelah Utara Sungai Berau ke udiknya sampai Sungai Segah dan Raja Alam memerintah daerah Sungai Berau dari Tanjung Mangkalihat sampai ke udiknya Sungai Kelay. Aji Kuning II memindahkan pusat kerajaannya dari Muara Bangun ke Gunung Tabur dan Raja Alam ke Tanjung di Sungai Kelay.
Dalam menyelesaikan persengketaan ini baik Raja Alam maupun Aji Kuning II tidak pernah meminta bantuan atau campur tangan Pemerintah Hindia Belanda. Pada waktu itu Jenderal Yassens yang ditunjuk sebagai Gubernur oleh Lodewijk Napoleon pada tahun 1806 menghadapi situasi yang sangat gawat dari serangan armada Inggris sampai jatuhnya Hindia Belanda dan menyerahnya Jenderal Yassens yang biasa disebut Kapitulasi Tuntang 1811.
Setelah Napoleon kalah perangnya di Waterloo tahun 1813 diadakan Conventie Van London 1814. Dalam Conventie tersebut, Pemerintah Inggris mengembalikan Indonesia kepada Belanda. Pada tanggal 19 Agustus 1816 secara resmi Indonesia diserahkan John Fendell kepada Komisaris Jenderal wakil Pemerintah Belanda. Sejak waktu itu Belanda melancarkan politik penjajahannya untuk menguasai Indonesia kembali. Raja-raja yang umumnya pemimpin bangsa Indonesia mengerti maksud Belanda.
Langganan:
Postingan (Atom)